Seandainya sejak aku masih terbentuk sebuah sel sperma aku mengerti Bunda tak mengharapkan kehadiranku, aku pasti akan mengalah dari jutaan sel-sel yang lain, aku takkan berusaha menjadi pemenangnya.
Seandainya sejak aku masih terbentuk gumpalan darah aku mengerti Bunda tak mengharapkan kehadiranku, aku akan mencabik-cabik diriku hingga berceceran.
Seandainya sejak aku masih terbentuk segumpal daging aku mengerti Bunda tak mengharapkan kehadiranku, aku akan menyayat diriku hingga bentukku tak beraturan.
Seandainya sejak aku masih terbentuk tulang belulang aku mengerti Bunda tak mengharapkan kehadiranku, aku akan sekeras mungkin mematahkan diriku hingga terbentuk sekumpulan tulang-tulang kecil yang tak berarti.
Seandainya sejak aku masih terbentuk sebuah janin aku mengerti Bunda tak mengharapkan kehadiranku, aku akan meminum air ketuban itu hingga ku tergugur.
Dan seandainya sejak aku masih bayi aku mengerti Bunda tak mengharapkan kehadiranku, aku akan memohon kepada Tuhan untuk tidak membiarkanku hidup dan tumbuh besar seperti sekarang.
Sampai detik ini aku tak mengerti dan tak pernah mengerti mengapa Bunda sangat membenciku. Bunda tak pernah menciumku, Bunda tak pernah memelukku, Bunda tak pernah mengajakku bercerita, Bunda tak pernah tertawa denganku. Sejak kecil aku dirawat Eyang Putri dan Bibi. Bunda hanya menyiapkan sarapan, setelah itu langsung berangkat kerja dan pulang selalu malam. Setiap aku mengajaknya bicara, Bunda selalu bilang lelah, banyak kerjaan, sibuk dan selalu beralasan untuk menolakku, bahkan tak jarang Bunda membentakku. Apakah bunda sebenarnya Ibu tiriku? lalu dimana Ibu kandungku?
Satu kalimat yang pernah Bunda lontarkan padaku dan sangat membuatku bingung tak mengerti "seharusnya kamu yang mati bukan Ayahmu!!!"
Ayahku meninggal sejak aku lahir, Eyang cuma bilang Ayah meninggal karena kecelakaan mobil. Entahlah, mungkin memang salahku Ayah pergi tapi aku tak mengerti dimana salahku???
Bunda, mengapa kau membenciku? sampai kapan kau akan membenciku? ini sangat menyakikan Bunda, benar-benar sangat menyakitkan. Seandainya Bunda tahu aku juga sangat ingin menyusul Ayah.
Seandainya tak ada Eyang, tak ada Bibi, tak ada Lisa kekasihku dan tak ada sahabat-sahabatku (Adit, Reza dan Farhan), aku pasti sudah merusak diriku sendiri, aku pasti sudah terjun ke pergaulan bebas, berhura-hura sepanjang hari, menikmati obat-obatan haram itu hingga ku overdosis dan akhirnya mati!!!
Berkali-kali aku menyayat nadiku, selalu saja mereka menemuiku, selalu saja aku SELAMAT!!! aku ingin MATI!!! aku ingin menyusul Ayah!!!
Tak ada gunanya aku hidup, Bunda tak pernah bahagia dengan semua yang ku lakukan untuknya bahkan Bunda tak peduli dengan prestasi-prestasiku, Bunda tak pernah bangga padaku. Aku sakit pun Bunda tak pernah merawatku, selalu kerjaan yang diutamakan. Dua tahun yang lalu aku kecelakaan motor, tangan kiriku patah, tak satu malampun Bunda menjagaku dirumah sakit, Bunda hanya mengurus administrasi dan menengokku lewat kaca yang menempel dipintu. Mengapa saat itu Tuhan tak mengambil nyawaku sajaaa??????
Mungkin aku adalah pria yang sangat lemah didunia. Teman-temanku bilang aku pria cengeng, aneh, gila, karena suka menyendiri, karena sering menangis tanpa sebab. Semua itu ada sebabnya, mereka tak tahu apa-apa, aku tak peduli, mereka tak pernah merasakan betapa pedihnya jadi aku, betapa terlukanya hatiku, betapa kelamnya hidupku!!
***
Sepertinya ini moment yang pas. Nenek sudah lelap tertidur, Bibi sedang pulang kampung karena anaknya sakit, aku juga sudah membatalkan dinnerku dengan Lisa karena aku bilang sedang tak enak badan, Adit, Reza dan Farhan sedang ke Bandung untuk berlibur, aku tak ikut dengan alasan ingin romantic dinner dengan Lisa, dan Bunda, jam segini Bunda belum pulang dan lagi pula Bunda tak pernah kekamarku.
Ku kunci kamarku, ku ambil sebuah pisau yang baru ku beli kemarin. Sengaja ku beli karena pisau-pisau dirumah selalu disembunyikan Eyang dan Bibi dan aku tak pernah lagi tau dimana mereka menyembunyikannya. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi, ku kunci pintu kamar mandi dan ku nyalakan shower. Ku duduk dibawah shower, ku tatap lekat pisau itu dan senyumku menyeringai.
Kali ini aku harus berhasil, Tuhan aku mohon kali ini kabulkan niatku.
Ku sayat nadi tanganku dengan pasti, ku biarkan darah segar mengalir bersama butiran-butiran air yang mengalir membasahi tubuhku. Nafasku mulai tak beraturan, tubuhku lemas, aku pun tak ingat apa-apa lagi.
Mataku terasa begitu berat ku buka, kepalaku seperti pecah, sangat sakit. Ku buka perlahan mataku, ruangan ini berwarna putih semua, ada seorang pria berdiri menatapku, berharap ini adalah surga dan pria itu adalah ayahku. Pandanganku semakin nyata, pria itu berjas putih dannn...ada stetoskop dilehernya.
Ahh itu bukan Ayah tapi dokter. Gagal lagi????? kenapa aku masih hidup Tuhaaan????
"kenapa Revan dibawa kesini? kenapa gak biarin aja Revan mati?" tanyaku setengah emosi kepada Eyang
"tadi Lisa kerumah, dia gedor-gedor pintu sampai Eyang bangun, perasaannya gak enak dan kita langsung kekamar kamu, dan benar kamu udah tergeletak dikamar mandi dengan bercucuran darah" jelas Eyang, Eyang juga memegang kunci kamarku dan entah pakai cara apa mereka berhasil membuka pintu kamar mandi. Lisa hanya menangis menatapku.
"Lisa, bisa tinggalkan aku berdua dengan Eyang? aku ingin bicara dengan Eyang" Lisa hanya mengangguk kemudian berlalu meninggalkan aku dan Eyang.
"Eyang, sekarang Revan udah dewasa, Revan harus tau alasan Bunda membenci Revan, Eyang gak usah sembunyiin semuanya lagi dari Revan, Revan siap mendengarnya" Eyang hanya diam, matanya merah menahan butiran-butiran air mata
"Eyang kenapa diam aja?"
"sebenarnya kamu ada dirahim Bunda kamu sebelum Bunda dan Ayah kamu menikah" aku terhenyak tak percaya, mataku berair
"jadi aku anak haram maksud Eyang?"
"bukan kamu yang haram tapi perbuatan mereka yang haram"
"tapi kenapa Bunda bisa sangat membenci Revan?"
"Eyang juga gak begitu paham dengan alasan sikap Bundamu, yang Eyang tahu dulu Bunda selalu ingin menggugurkan janinnya yaitu kamu tapi selalu ketauan Ayah kamu, Bunda dan Ayah menikah waktu kamu umur dua bulan didalam kandungan. Tapi setelah menikah Bunda jadi sangat menjaga kehamilannya, Bunda sudah bisa menerima kehadiran kamu sampai akhirnya Bunda melahirkan kamu dengan selamat, dia sangat bahagia, Ayah kamu yang lagi kerja langsung menyusul kerumah sakit, waktu itu lagi hujan dan Ayah kamu kecelakaan, mobilnya terpeleset dan menabrak mobil lain, Ayah mu meninggal ditempat kejadian, sejak mengetahui Ayahmu meninggal Bunda tak ingin merawatmu, dia jadi sangat dingin dan mudah marah" jelas Eyang panjang lebar, tangisku makin menjadi
"jadi Bunda menyalahkan aku atas kematian Ayah?" aku pun mengerti dengan ucapan Bunda yang pernah dia katakan padaku beberapa tahun yang lalu
"mungkin Revan, Eyang tidak mengerti" Eyang pun memelukku dan menitikkan air matanya
***
"Bunda, maafin Revan" ucapku ketika Bunda baru pulang dari kantor, Bunda terus berjalan menuju kamarnya, tak peduli dengan ucapanku, aku pun mengejarnya
"Bunda dengerin Revan, Revan mau bicara sama Bunda" aku pun berhasil memegang tangan Bunda dan menghentikan langkahnya
"kamu mau ngomong apa? percuma, Bunda gak mau dengar. Lepasin tangan Bunda, atau gak kamu mau Bunda tampar lagi?" ucap Bunda geram dan berontak
"silahkan Bunda tampar Revan sepuasnya, bunuh Revan sekalian, Revan ingin menyusul Ayah, maafin Revan Bunda kalau Revanlah penyebab kematian Ayah"
"ternyata kamu udah tau, bagus tapi apa kamu pikir dengan kamu ikut mati bisa mengembalikan Ayah? seandainya kamu gak lahir waktu itu dan Ayah gak menyusul kerumah sakit, mungkin Ayah masih hidup" ucap Bunda dengan tatapan penuh benci, aku hanya menggeleng dan tertunduk, lagi-lagi aku menangis, aku tak suka dengan adegan ini
"maafin Revan, lalu apa yang harus Revan lakuin supaya Bunda gak benci lagi sama Revan? Revan sangat mencintai Bunda, apapun akan Revan lakuin supaya Bunda bahagia" Bunda hanya diam dan mengajakku duduk di sofa
"Bunda juga gak ngerti Revan kenapa Bunda bisa sedingin ini padamu, yang Bunda tau, Bunda sangat mencintai Ayahmu, Bunda sangat terpukul dengan kematian Ayahmu" sesuatu yang tak ku duga, Bunda menangis dan memelukku, inilah yang aku tunggu selama 16 tahun, pelukan Bunda
"maafin Bunda ya, Bunda sudah keterlaluan" aku hanya mengangguk dan mengeratkan pelukan Bunda
terimakasih Tuhan sudah meluluhkan hati Bunda
***
Waktu berjalan dengan sangat indah, tak terasa tujuh bulan terlewat begitu cepat, semua ini karena Bunda, karena sikap Bunda yang begitu manis, karena senyum dan tawa Bunda yang bisa ku lihat setiap hari dan karena kasih sayang Bunda padaku.
"Revan, besok malam Om Fahmi mau kesini, dia mau makan malam bersama kita disini, dia ingin mengenal kamu, dia juga akan membawa anaknya" ucap Bunda saat sesi curhat itu berlangsung, semenjak Bunda berubah, hal rutin yang aku dan Bunda lakuin tiap malam adalah bercerita apapun dikamar Bunda atau dikamarku, tak jarang Eyang pun juga ikut nimbrung. Bunda sudah ku ceritakan tentang Lisa, Bunda menyuruhku mengenalkan Lisa padanya tapi waktunya belum sempat. Dan Om Fahmi itu adalah teman dekat Bunda dikantor alias kekasih Bunda, setelah belasan tahun akhirnya Bunda bisa membuka hatinya kembali. Om Fahmi seorang duda dan mempunyai satu orang anak, sama seperti Bunda. Umur Bunda masih 35 tahun jadi tak masalah jika menikah lagi dengan Om Fahmi yang berumur dua tahun diatas Bunda, aku pun sangat setuju pastinya, apalagi dengar cerita Bunda kalau Om Fahmi sangat baik dan bijak.
"oke Bunda, besok Revan mau bantuin Bunda masak buat Om Fahmi"
"memangnya kamu bisa masak?"
"ahh kecil Bunda, Bunda tinggal bilang mau masak apa?"
"ayam rica-rica bisa?"
"bisa dong Bunda"
"waah hebat kamu, gak nyangka anak Bunda ini udah ganteng, baik, pintar masak pula"
"maksudnya bisa potongin cabenya doank Bunda, hehehe" kami pun tertawa dan Bunda memelukku
"dasar kamu, Bunda nyesel pernah jahat banget sama kamu"
"udahlah Bunda, yang lalu biarlah berlalu"
***
Aku terkejut dengan kedatangan Om Fahmi dan anaknya, bukan karena Om Fahminya, Om Fahmi sih ganteng, keren dan gagah, baru melihatnya saja aku sudah menyukai sosoknya tapi anaknya itu yang membuat darahku seakan berhenti mengalir, jantungku terhenyak, wanita itu?? Lisa. Iya Lisa kekasihku.
Aku terbungkam dan berusaha tersenyum ketika Om Fahmi memperkenalkan Lisa kepadaku.
"Pa, di-dia itu...." ucap Lisa tergagap
"aku Revan" ucapku memotong ucapan Lisa yang tergagap, aku menjabat tangannya erat sebagai isyarat untuk tidak mengatakan yang sesungguhnya.
"namanya seperti pacar kamu Lis" ucap Om Fahmi
"nama Revan kan banyak Pa, aku Lisa" balasnya tersenyum, walau dengan terpaksa untunglah dia mengerti isyaratku
"lho Lisa itu bukannya nama pacarmu Van?" ucap Bunda curiga
"bukan Lisa Bunda tapi Nisa, Bunda salah dengar" jawabku mengelak, aku tak ingin Bunda dan Om Fahmi mengetahui hubungan kami
"oh yasudah, sekarang kita makan aja, habis itu kita lanjutin lagi obrolannya"
"aku disini aja ya Bunda, aku mau mengakrabkan diri sama calon adik tiriku"
"yasudah habis itu nyusul kemeja makan ya" aku hanya mengangguk
"maafkan aku ya Lis, kita harus mengakhiri hubungan kita" ucapku ke Lisa dengan berat
"tapi Van kenapa harus kita yang mengalah? kalau kita jujur pasti mereka akan mengerti dan mengalah, Bunda kamu kan udah gak jahat lagi" Lisa pun menangis
"Lisa, aku sangat mencintai Bundaku, aku lebih mementingkan kebahagiaan Bunda daripada kebahagiaanku, kamu juga ingin Papamu bahagia kan?" Lisa hanya mengangguk
"aku juga berat mengakhirinya tapi kan kita gak berpisah, justru kita gak akan pernah berpisah sampai kapanpun, kita akan bersama selamanya"
"tapi Van aku gak sanggup kalau nanti melihat kamu menikah dengan wanita lain"
"apa kamu pikir aku sanggup melihatmu menikah dengan pria lain? gak Lis, tapi itu masih lama, semuanya akan berubah dengan berjalannya waktu, perasaan kita juga akan berubah saat nanti kita menemukan orang yang lebih tepat, Tuhan akan membalas pengorbanan kita dengan kebahagiaan yang lain" aku pun memeluk Lisa
"sekarang kamu mengerti?" Lisa hanya mengangguk
"hapus airmata kamu, sekarang kita menyusul Bunda dan Papamu"
Makan malam yang begitu hangat, aku bisa melihat Bunda begitu bahagia. Aku pun sudah lumayan akrab dengan Om Fahmi begitu juga dengan Lisa dan Bunda, walau berat mengakhiri hubungan dengan orang yang masih sangat ku sayangi, namun kebahagiaan Bunda lebih penting. Dua bulan lagi Bunda akan menikah dengan Om Fahmi, berarti dua bulan lagi aku dan Lisa juga akan resmi menjadi kakak beradik.
***
Hari yang ditunggu pun akhirnya datang, hari yang penuh dengan bahagia. Kini Bunda dan Om Fahmi sudah resmi menjadi suami istri.
"Revan mana pacar kamu? qo belum datang?" tanya Bunda padaku
"aku dan dia sudah putus"
"putus? kenapa?"
"karena keadaan Bunda"
"lho Lisa kenapa kamu nangis?" tanya Bunda kepada Lisa yang tiba-tiba menangis
"aku gak kenapa-kenapa Bun"
"jangan bohong, cerita sama Bunda"
"sebenarnya pacar Revan itu aku" aku pun tersentak kaget dengan ucapan Lisa barusan, bibirku kelu sulit berucap
"hah? jadi Nisa itu Lisa? kenapa Revan bohongin Bunda?" aku hanya tertunduk dan diam
"Revan ngomong" desak Bunda
"ma-maaf Bun, Revan sengaja menutupi semuanya dari Bunda dan Om Fahmi, eh maksudnya Papa"
"kenapa? kalau kamu bilang kan kita pasti akan mengalah untuk kalian"
"justru aku gak mau kalau sampai pernikahan ini gagal cuma karena hubungan aku dan Lisa, kebahagiaan Bunda lebih penting dan Lisa juga setuju walaupun awalnya memang sama-sama berat"
"Revan, Bunda juga ingin kamu dan Lisa bahagia"
"nanti ada saatnya Bunda, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik" Bunda pun memelukku dan Lisa, diikuti oleh Papa
"maafin Bunda dan Papa ya Van, Lis" aku dan Lisa hanya mengangguk dan tersenyum. Walau pernikahan ini dihiasi dengan suasana haru antara aku dan Lisa tapi kita bisa menerima kenyataan ini. Kita bahagia melihat orangtua kita bahagia dipelaminan itu.
***
Tiga tahun berlalu, sekarang aku sudah mendapatkan pengganti Lisa dikampusku dan Lisa juga telah mendapatkan penggantiku dikampusnya. Sengaja kami tak satu kampus supaya lebih mudah mendapatkan pengganti masing-masing. Kini kita sudah bisa saling melepaskan satu sama lain dan hubungan keluarga kami begitu harmonis, aku sangat betah berada dirumah, dan ada satu lagi yang membuat keluargaku lebih hangat dan bahagia yaitu kehadiran Hellen, dia sudah berumur satu tahun, dia lucu sekali dan sangat cantik seperti Bunda.
_______THE END_______
No comments:
Post a Comment