Sunday, September 8, 2013

Tampan Bukan yang Utama

"Cinta itu memang buta, hingga terkadang Kau tidak sadar sedang berada dijurang."

Wajahnya tampan, postur tubuhnya tinggi semampai dan sikapnya ramah. Banyak wanita yang menyukainya. Itulah Ivan, kekasihku.

Aku bahagia saat-saat bersamanya. Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika melihat banyak wanita yang iri denganku. Ya, Aku merasa beruntung.

Enam bulan berlalu. Tiba saatnya Dia berubah. Perhatiannya tidak seintens biasanya. Disekolah pun jarang menemuiku lagi, bahkan ketika tidak sengaja bertemu Dia enggan menyapaku. Tentu saja pikiran negatif menelusup otakku.


---oOo---

Ivan memutuskanku dengan alasan yang belum Aku mengerti. Aku tak ingin menahannya pergi. Akan percuma, hatinya sudah tidak untukku lagi.
Dua minggu kepergiannya, benar-benar telah merubah hidupku. Kebiasaan-kebiasaannya masih tertanam jelas dibenakku.

Hari-hariku masih kelam. Aku masih didera kebimbangan dengan keputusan Ivan. Terlebih lagi Ivan masih sering mengamati kelasku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Aku harus meminta penjelasan itu sekarang? Ya, harus! 

Temui Aku sepulang sekolah nanti, Aku mau bicara.
To: Ivan 085719099xxx
Sent: 14.31:19 Today

Bel pulang berbunyi, perasaanku semakin tidak karuan. Sebenarnya Aku takut dengan yang diucapkan Ivan nanti.

Aku menunggu Ivan ditaman dekat sekolah. 15 menit berlalu namun belum keliatan juga batang hidungnya.

"Nah itu Dia." ujarku dalam hati ketika melihat pria berjaket putih berjalan kearahku. Jantungku benar-benar sulit diajak kompromi. Kenapa getarannya masih sama?

"Apa kabar?" tanyaku tersenyum ketika Ivan sudah berada setengah meter dihadapanku.

"Baik, kamu baik juga kan?"

"Menurutmu?"

Ivan hanya tersenyum dan mengangkat bahunya kemudian duduk disampingku.

"Aku mau menagih janjimu."

"Janji apa?"

"Janji untuk menceritakan alasanmu memutuskanku."

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena Aku tidak tega."

"Aku akan baik-baik saja." Ivan terdiam beberapa menit.

"Aku menyukai Putri." ucapnya menunduk dan tentu saja Aku terkejut.

"Putriana Dewi? Teman sekelasku?" tanyaku tak percaya.

"Iya."

"Oh jadi karena Dia Kamu berubah? Karena Dia Kamu memutuskanku? Kamu lebih memilih Dia dan mengorbankan Aku?" ujarku dengan nada setengah meninggi.
Ivan hanya Diam. Suasana hening seketika. Aku tidak boleh menangis dihadapannya.

"Sejak kapan Kamu menyukainya?" tanyaku getir.

"Kamu bisa menerka itu sendiri."

Aku tertunduk. Bungkam. Ya Aku mengerti. Sejak perubahannya itulah tepatnya. Putri memang lebih cantik, body nya juga lebih bagus. Wajar saja banyak pria yang terpesona, termasuk Ivan. Selama ini Dia mengamati kelasku ternyata adalah untuk melihat Putri. Hanya itu. Bukan untukku.

"Aku minta maaf. Jangan membenciku."

"Tidak akan." jawabku.

"Aku rasa sudah jelas. Aku mengerti. Kamu boleh pergi sekarang." lanjutku.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil menggenggam tanganku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.  

Tentu tidak akan baik-baik saja Van!

Aku rapuh. Genggamannya terasa menyakitkan.

"Temui Putri, katakan padanya sebelum terlambat." ujarku melepaskan genggamannya. Ivan pun segera pergi.
Air mataku tumpah. Aku tidak kuat lagi menahannya.

---oOo---

“Enam bulan waktu yang singkat. Tetapi melupakanmu, tidak akan pernah bisa sesingkat itu. Sampai detik ini Aku masih mencintaimu Van.”

Aku mengamati fotomu, foto kita, yang masih terpajang rapi dikamarku. Aku masih ingat semua tentangmu, tentang Kita. Seandainya Kamu bisa rasakan luka ini Van. Aku masih sulit merelakanmu. Seandainya air mataku bisa mengubah pilihanmu, bisa membuatmu kembali menyayangiku. Ah untuk apa! Pria bukan hanya Kamu saja.

Rasanya takdir begitu tega padaku. Tapi Aku tau luka ini takkan lama kan? Cepat atau lambat pasti akan mengering.

My heart beats a little bit slower. these nights are a little bit colder. now that you're gone...." ringtone handphoneku berbunyi menghentikan lamunanku.

"IVAN!" ujarku setengah terkejut.

Dengan jantung berdegup kencang dan tangan sedikit gemetar Aku coba mengangkatnya.

"Kenapa Van?" Tanyaku pelan tanpa basa-basi lagi.

"Aku ganggu?"

"Tidak."

"Aku galau Len."

"Galau kenapa?"

"Emmm... Aku belum menyatakan perasaanku ke Putri, Aku takut Dia menolakku."

"Haha cupu Kamu! Itu resiko Van." Tertawa adalah cara terampuh menyembunyikan luka.

"Kamu mau bantuin Aku gak?"

"Jadi Mak Comblang Kamu?"

"Iya Len."

Aku terdiam.

Harus Aku ya orangnya? Luka Ku belum sembuh lho Van, kenapa Kamu gores lagi?

"Len kok diam?"

"Eh..itu.. oke Van tenang aja. Sama Aku pasti berhasil."

"Serius? Makasih mantan eh Hellen, Kamu baik banget deh." ucapnya kegirangan.

"Hehe biasa aja kali Van."

"Hmm...yaudah Kamu tidur ya udah malam. Sekali lagi makasih. Bye."

"Iya bye."

Aku menarik nafasku sepanjang Aku bisa kemudian menghempaskannya. Ada perasaan bahagia ketika mendengar tawanya lagi. Itu yang membuatku tidak menyesal mengiyakan permintaan Dia.

---oOo---

Sahabat-sahabatku marah padaku. Aku dibilang bodoh karena mau membantu Ivan, dan sekarang Aku harus menelan pedih itu sendiri.
Ivan masih saja meminta bantuanku untuk menemaninya setiap pergi dengan Putri. Bahkan Ibunya juga masih menghubungiku jika sesuatu terjadi pada Ivan. Mungkin Ibunya belum tau kalau Kami sudah putus.

Ivan hanya tak tau apa yang sedang Dia lakukan, Dia masih belum mengerti bahwa apa yang sedang Dia jalani itu salah.

Ditengah perjalanan kisah Ivan dengan Putri, Aku dikenalkan dengan temannya Ivan. Aldo namanya. Rupanya Aldo diam-diam sering memperhatikan Aku ketika Aku main kerumah Ivan. Dia menyukaiku dan menyatakan perasaannya padaku.

Tanpa pikir panjang Aku menerimanya. Tujuanku satu waktu itu, hanya untuk membuat Ivan cemburu. Benar saja, Ivan menjelek-jelekkan Aldo dihadapanku dan melarang Aku menerimanya. Tapi Aku tidak peduli lagi dengannya. Dia harus merasakan apa yang Aku rasakan.

---oOo---

Tiga bulan berlalu. Hati ku mulai terpagut pada Aldo. Wajahnya memang tidak setampan Ivan tetapi hatinya jauh lebih tampan dari Ivan. Dia mampu mengeringkan lukaku, Dia mampu membuka mata hatiku bahwa Ivan bukanlah yang terbaik untukku lagi, dan Dia mampu menyelamatkanku dari jurang kepedihan.

"Aku mau bicara." geram Ivan sambil menarik tanganku saat Aku baru keluar kelas.

"Ada apa sih Van? Masalah Putri lagi?"

Ivan hanya diam dan terus menarik tanganku.

"Itu kan pilihanmu, kalau ternyata Putri tidak sebaik yang Kamu harapkan ya itu resiko Kamu." lanjutku.

Ivan tetap Diam.

"Van lepasin! Sakit!" Aku mulai berontak. Ivan berhenti melangkah dan tertunduk lesu.

"Len, Aku menyesal." ucapnya dengan mata sedikit berair.

"Menyesal kenapa?"

"Sudah menyia-nyiakan Kamu dan lebih memilih Putri. Aku egois dan Putri lebih egois, sifat itu gak mungkin bisa disatukan. Kembali lah padaku Len."

Aku tertawa.

"Aku sudah menunggu lama saat-saat seperti ini. Aku yakin Kamu akan menyesal. Kamu gak bisa seenak itu terus dalam hidup Kamu. Tidak melulu yang Kamu inginkan harus Kamu dapatkan. Kamu sekarang harus belajar untuk menjadi air, jangan jadi batu terus. Kamu pasti sudah tau jawabanku. Aku sudah punya Aldo."

"Maafkan Aku, kasih Aku kesempatan sekali lagi. Aku bisa lebih baik dari Aldo."

"Simpan saja ucapanmu. Aku tidak akan luluh lagi."


_____THE END_____

No comments:

Post a Comment

About

.
.