"Cinta itu memang buta, hingga terkadang Kau
tidak sadar sedang berada dijurang."
---oOo---
Wajahnya tampan, postur tubuhnya tinggi semampai dan
sikapnya ramah. Banyak wanita yang menyukainya. Itulah Ivan, kekasihku.
Aku bahagia saat-saat bersamanya. Rasanya ada kepuasan
tersendiri ketika melihat banyak wanita yang iri denganku. Ya, Aku merasa
beruntung.
Enam bulan berlalu. Tiba saatnya Dia berubah.
Perhatiannya tidak seintens biasanya. Disekolah pun jarang menemuiku lagi,
bahkan ketika tidak sengaja bertemu Dia enggan menyapaku. Tentu saja pikiran
negatif menelusup otakku.
---oOo---
Ivan memutuskanku dengan alasan yang belum Aku
mengerti. Aku tak ingin menahannya pergi. Akan percuma, hatinya sudah tidak
untukku lagi.
Dua minggu kepergiannya, benar-benar telah merubah
hidupku. Kebiasaan-kebiasaannya masih tertanam jelas dibenakku.
Hari-hariku masih kelam. Aku masih didera kebimbangan
dengan keputusan Ivan. Terlebih lagi Ivan masih sering mengamati kelasku. Apa
yang sebenarnya terjadi? Apakah Aku harus meminta penjelasan itu sekarang? Ya,
harus!
Temui Aku sepulang sekolah nanti, Aku mau bicara.
To: Ivan 085719099xxx
Sent: 14.31:19 Today
Bel pulang berbunyi, perasaanku semakin tidak karuan.
Sebenarnya Aku takut dengan yang diucapkan Ivan nanti.
Aku menunggu Ivan ditaman dekat sekolah. 15 menit
berlalu namun belum keliatan juga batang hidungnya.
"Nah itu Dia." ujarku dalam hati ketika
melihat pria berjaket putih berjalan kearahku. Jantungku benar-benar sulit
diajak kompromi. Kenapa getarannya masih sama?
"Apa kabar?" tanyaku tersenyum ketika Ivan
sudah berada setengah meter dihadapanku.
"Baik, kamu baik juga kan?"
"Menurutmu?"
Ivan hanya tersenyum dan mengangkat bahunya kemudian
duduk disampingku.
"Aku mau menagih janjimu."
"Janji apa?"
"Janji untuk menceritakan alasanmu
memutuskanku."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena Aku tidak tega."
"Aku akan baik-baik saja." Ivan terdiam
beberapa menit.
"Aku menyukai Putri." ucapnya menunduk dan
tentu saja Aku terkejut.
"Putriana Dewi? Teman sekelasku?" tanyaku
tak percaya.
"Iya."
"Oh jadi karena Dia Kamu berubah? Karena Dia Kamu
memutuskanku? Kamu lebih memilih Dia dan mengorbankan Aku?" ujarku dengan
nada setengah meninggi.
Ivan hanya Diam. Suasana hening seketika. Aku tidak
boleh menangis dihadapannya.
"Sejak kapan Kamu menyukainya?" tanyaku
getir.
"Kamu bisa menerka itu sendiri."
Aku tertunduk. Bungkam. Ya Aku mengerti. Sejak
perubahannya itulah tepatnya. Putri memang lebih cantik, body nya juga lebih
bagus. Wajar saja banyak pria yang terpesona, termasuk Ivan. Selama ini Dia
mengamati kelasku ternyata adalah untuk melihat Putri. Hanya itu. Bukan
untukku.
"Aku minta maaf. Jangan membenciku."
"Tidak akan." jawabku.
"Aku rasa sudah jelas. Aku mengerti. Kamu boleh
pergi sekarang." lanjutku.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil
menggenggam tanganku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Tentu tidak akan
baik-baik saja Van!
Aku rapuh. Genggamannya terasa menyakitkan.
"Temui Putri, katakan padanya sebelum
terlambat." ujarku melepaskan genggamannya. Ivan pun segera pergi.
Air mataku tumpah. Aku tidak kuat lagi menahannya.
---oOo---
“Enam bulan
waktu yang singkat. Tetapi melupakanmu, tidak akan pernah bisa sesingkat itu.
Sampai detik ini Aku masih mencintaimu Van.”
Aku mengamati fotomu, foto kita, yang masih terpajang
rapi dikamarku. Aku masih ingat semua tentangmu, tentang Kita. Seandainya Kamu
bisa rasakan luka ini Van. Aku masih sulit merelakanmu. Seandainya air mataku
bisa mengubah pilihanmu, bisa membuatmu kembali menyayangiku. Ah untuk apa!
Pria bukan hanya Kamu saja.
Rasanya takdir begitu tega padaku. Tapi Aku tau luka
ini takkan lama kan? Cepat atau lambat pasti akan mengering.
My heart
beats a little bit slower. these nights are a little bit colder. now that
you're gone...." ringtone handphoneku berbunyi
menghentikan lamunanku.
"IVAN!" ujarku setengah terkejut.
Dengan jantung berdegup kencang dan tangan sedikit
gemetar Aku coba mengangkatnya.
"Kenapa Van?" Tanyaku pelan tanpa basa-basi
lagi.
"Aku ganggu?"
"Tidak."
"Aku galau Len."
"Galau kenapa?"
"Emmm...
Aku belum menyatakan perasaanku ke Putri, Aku takut Dia menolakku."
"Haha
cupu Kamu! Itu resiko Van." Tertawa adalah cara terampuh menyembunyikan
luka.
"Kamu
mau bantuin Aku gak?"
"Jadi
Mak Comblang Kamu?"
"Iya
Len."
Aku terdiam.
Harus Aku ya
orangnya? Luka Ku belum sembuh lho Van, kenapa Kamu gores lagi?
"Len kok
diam?"
"Eh..itu..
oke Van tenang aja. Sama Aku pasti berhasil."
"Serius? Makasih mantan eh Hellen, Kamu baik
banget deh." ucapnya kegirangan.
"Hehe
biasa aja kali
Van."
"Hmm...yaudah Kamu tidur ya udah malam.
Sekali lagi makasih. Bye."
"Iya
bye."
Aku menarik
nafasku sepanjang Aku bisa kemudian menghempaskannya. Ada perasaan bahagia
ketika mendengar tawanya lagi. Itu yang membuatku tidak menyesal mengiyakan
permintaan Dia.
---oOo---
Sahabat-sahabatku marah padaku. Aku dibilang bodoh
karena mau membantu Ivan, dan sekarang Aku harus menelan pedih itu sendiri.
Ivan masih saja meminta bantuanku untuk menemaninya
setiap pergi dengan Putri. Bahkan Ibunya juga masih menghubungiku jika sesuatu
terjadi pada Ivan. Mungkin Ibunya belum tau kalau Kami sudah putus.
Ivan hanya tak tau apa yang sedang Dia lakukan, Dia
masih belum mengerti bahwa apa yang sedang Dia jalani itu salah.
Ditengah perjalanan kisah Ivan dengan Putri, Aku
dikenalkan dengan temannya Ivan. Aldo namanya. Rupanya Aldo diam-diam sering
memperhatikan Aku ketika Aku main kerumah Ivan. Dia menyukaiku dan menyatakan
perasaannya padaku.
Tanpa pikir panjang Aku menerimanya. Tujuanku satu
waktu itu, hanya untuk membuat Ivan cemburu. Benar saja, Ivan menjelek-jelekkan
Aldo dihadapanku dan melarang Aku menerimanya. Tapi Aku tidak peduli lagi
dengannya. Dia harus merasakan apa yang Aku rasakan.
---oOo---
Tiga bulan berlalu. Hati ku mulai terpagut pada Aldo.
Wajahnya memang tidak setampan Ivan tetapi hatinya jauh lebih tampan dari Ivan.
Dia mampu mengeringkan lukaku, Dia mampu membuka mata hatiku bahwa Ivan
bukanlah yang terbaik untukku lagi, dan Dia mampu menyelamatkanku dari jurang
kepedihan.
"Aku mau bicara." geram Ivan sambil menarik
tanganku saat Aku baru keluar kelas.
"Ada apa sih Van? Masalah Putri lagi?"
Ivan hanya diam dan terus menarik tanganku.
"Itu kan pilihanmu, kalau ternyata Putri tidak
sebaik yang Kamu harapkan ya itu resiko Kamu." lanjutku.
Ivan tetap Diam.
"Van lepasin! Sakit!" Aku mulai berontak.
Ivan berhenti melangkah dan tertunduk lesu.
"Len, Aku menyesal." ucapnya dengan mata
sedikit berair.
"Menyesal kenapa?"
"Sudah menyia-nyiakan Kamu dan lebih memilih
Putri. Aku egois dan Putri lebih egois, sifat itu gak mungkin bisa disatukan.
Kembali lah padaku Len."
Aku tertawa.
"Aku sudah menunggu lama saat-saat seperti ini.
Aku yakin Kamu akan menyesal. Kamu gak bisa seenak itu terus dalam hidup Kamu.
Tidak melulu yang Kamu inginkan harus Kamu dapatkan. Kamu sekarang harus
belajar untuk menjadi air, jangan jadi batu terus. Kamu pasti sudah tau
jawabanku. Aku sudah punya Aldo."
"Maafkan Aku, kasih Aku kesempatan sekali lagi.
Aku bisa lebih baik dari Aldo."
"Simpan saja ucapanmu. Aku tidak akan
luluh lagi."
_____THE
END_____
No comments:
Post a Comment