Perpisahan itu kejam. Aku masih membencinya sampai detik ini. Terlebih lagi harus melihatmu rapuh. Lukaku semakin membengkak.
"Harus ya kita berpisah?" tanyamu.
"Iya harus." Jawabku singkat dengan sebait senyum.
"Kenapa harus?" tanyamu lagi.
"Ini takdir, kita harus menerimanya." Hanya kalimat itu yang bisa ku lontarkan karena memang hanya kalimat itulah yang mampu membuat kita pasrah. Bukankah kita tidak boleh membenci takdir? seburuk apapun itu!
Seharusnya pertanyaan itu tak perlu lagi kamu tanyakan karena Kamu tau
alasan perpisahan ini. Mungkin Kamu belum bisa menerimanya. Aku pun
demikian. Tapi bisakah kita kembali melukiskan keceriaan diwajah kita seperti dulu? Aku merindukan itu.
"Matamu sembab, mukamu jadi jelek." Guraumu menghentikan tangisku.
"Ah mukamu juga jadi nambah jelek! nih liat! " Balasku sambil menyodorkan cermin. Dia tidak menangis tersedu sepertiku, hanya saja matanya memerah dan beberapa kali menitikkan air dari matanya.
"Hahaha mukaku dari dulu memang seperti ini."
"Hahaha." Aku pun ikut tertawa. Ah Aku akan selalu merindukan tawamu ini. Jangan berhenti.
"Hahaha." Aku pun ikut tertawa. Ah Aku akan selalu merindukan tawamu ini. Jangan berhenti.
Aku masih belum menemukan jawaban mengapa Tuhan menciptakan rasa sayang diantara kita kalau pada akhirnya kita harus berpisah? Dan kenapa setelah berpisah Tuhan tidak mencabut rasa sayang itu? Aku tau cepat atau lambat perpisahan itu pasti ada. Aku memilih "lambat" tetapi mengapa yang datang "cepat"?
Jangan perlihatkan lagi kerapuhanmu itu karena Aku akan semakin rapuh melibihi kerapuhanmu. Tetap tersenyumlah seperti ini. Suatu saat kamu pasti bisa meluluhkan hati kedua orang tua ku. Berubahlah! Aku akan menunggu.
Ada hal yang menyakitkan melebihi sakitnya dikhianati, diduakan atau
diputuskan yaitu ketika saling mencintai namun tak bisa saling memiliki. Pernah merasakannya?
No comments:
Post a Comment